Sabtu, 26 Mei 2012

Kompromi Matriarkat Minagkabau


Judul: Sengketa Tiada Putus: Matriarkat, Reformisme, Islam dan Kolonialisme di Minagkabau.
Judul asli: Muslim and Matriachs: Cultural Resilience in Indonesia through Jihad and Colonialism.
Penilis: Jeffery Hadler.
Penerbit: Freedom Institute, 2010.
Tebal: xli + 372 halaman.
ISBN: 978-979-19466-5-0

Gelombang reformisme Islam abad ke-18 mendorong Tuanku Imam Bonjol menggantikan sistem matriarkat di Minangkabau dengan model masyarakat Islam yang ketat merujuk Al-Quran dan Hadis. Ia berusaha mencari kompromi antara adat Minagkabau dan hokum Islam yang kemudian dikenal sebagai doktrin adat basandi syarak, syarak basandi kirabullah. Keputusannya itu menimbulkan konflik di Minangkabau sepanjang abad ke-19 san ke-20. Belanda keluar sebagai pemenang dan menggabungkan Sumatra Barat ke dalam Hindia Belanda.
                Sepanjang abad ke-19, Minangkabau mengalami transformasi dari masyarakat agraris tradisional, yang menempatkan perempuan sebagai pengontrol institusi rumah dan sawah, ke masyarakat colonial, tempat Negara patriarkal memberikan otoritas kepada lelaki untuk berkuasa. Pemerintahan colonial memaksakan kekuasaan patriarkal kepada masyarakat Minangkabau. Perempuan Minangkabau dipaksa mengikuti tradisi yang justru digunakan menentang kuasa mereka sendiri, mengikat mereka di rumah gadang, membatasi akses meraih berbagai peluang baru, dan membatasi ruang gerak mereka.
                Pengalaman sejarah telah menempa hidup orang Minangkabau dalam dialektika kritis atara nilai adat, ide Islam reformis, dan gagasan pembaruan Barat. Berkaca pada konflik berdarah selama Perang Paderi dalam menghadapi ketiga ideology yang bertentangan itu, masyarakat Minagkabau lebih sering menempuh jalur kompromi ketimbang memilih konflik berdarah lagi.
(DRA/LITBANG KOMPAS)
Sumber: Koran KOMPAS Minggu, 17 April 2011

Tidak ada komentar:

Posting Komentar