Judul: Sengketa Tiada Putus: Matriarkat, Reformisme, Islam
dan Kolonialisme di Minagkabau.
Judul asli: Muslim and Matriachs: Cultural Resilience in
Indonesia through Jihad and Colonialism.
Penilis: Jeffery Hadler.
Penerbit: Freedom Institute, 2010.
Tebal: xli + 372 halaman.
ISBN: 978-979-19466-5-0
Gelombang
reformisme Islam abad ke-18 mendorong Tuanku Imam Bonjol menggantikan sistem
matriarkat di Minangkabau dengan model masyarakat Islam yang ketat merujuk
Al-Quran dan Hadis. Ia berusaha mencari kompromi antara adat Minagkabau dan
hokum Islam yang kemudian dikenal sebagai doktrin adat basandi syarak, syarak
basandi kirabullah. Keputusannya itu menimbulkan konflik di Minangkabau
sepanjang abad ke-19 san ke-20. Belanda keluar sebagai pemenang dan
menggabungkan Sumatra Barat ke dalam Hindia Belanda.
Sepanjang
abad ke-19, Minangkabau mengalami transformasi dari masyarakat agraris
tradisional, yang menempatkan perempuan sebagai pengontrol institusi rumah dan
sawah, ke masyarakat colonial, tempat Negara patriarkal memberikan otoritas
kepada lelaki untuk berkuasa. Pemerintahan colonial memaksakan kekuasaan
patriarkal kepada masyarakat Minangkabau. Perempuan Minangkabau dipaksa
mengikuti tradisi yang justru digunakan menentang kuasa mereka sendiri,
mengikat mereka di rumah gadang, membatasi akses meraih berbagai peluang baru,
dan membatasi ruang gerak mereka.
Pengalaman
sejarah telah menempa hidup orang Minangkabau dalam dialektika kritis atara
nilai adat, ide Islam reformis, dan gagasan pembaruan Barat. Berkaca pada
konflik berdarah selama Perang Paderi dalam menghadapi ketiga ideology yang
bertentangan itu, masyarakat Minagkabau lebih sering menempuh jalur kompromi
ketimbang memilih konflik berdarah lagi.
(DRA/LITBANG KOMPAS)
Sumber: Koran KOMPAS Minggu, 17 April
2011
Tidak ada komentar:
Posting Komentar