Judul: Jerusalem 33: Imperium Romanum, Kota Para Nabi, dan
Tragedi di Tanah Suci.
Penulis: Trias Kuncahyono
Penerbit: Penerbit Buku Kompas
Cetakan: 2011
Tebal: xxxviii + 330 halaman
ISBN: 978-979-709-563-5
“I hear Jerusalem bells are ringing
Roman Cavalry choirs are singing
Be my mirror, my sword and shield
My missionaries in a foreign field
For some reason I can't explain
Once you go there was never
Never an honest word
That was when I ruled the world”
Roman Cavalry choirs are singing
Be my mirror, my sword and shield
My missionaries in a foreign field
For some reason I can't explain
Once you go there was never
Never an honest word
That was when I ruled the world”
(“Viva la vida”, Coldplay)
Oleh IGNATIUS HARYANTO
Kalimat di atas
adalah petikan lagu yang dibawakan oleh salah satu band penting asal Inggris
pada decade ini: Coldplay. Lagu itu menggambarkan bagaimana perang yang terjadi
pada abad-abad lau menjadi sesuatu yang tetap memengaruhi zaman sekarang. Dan,
sesuatu yang juga terjadi pada kota Jerusalem tetap membekas pada sejarah dunia
hari ini.
Demikianlah
Jerusalem sebagai salah satu kota penting di dunia ternyata menyimpan banyak
cerita, mulai dari yang menggembirakan hingga menyedihkan. Kota yang terletak
di sebelah timur Laut Tengah ini di kenal menjadi tempat Nabi Muhammad SAW
melakukan perjalanan religius, bermula dari Masjid Al-Aqsha. Sementara tidak
jauh dari situ ada Tembok Ratapan tempat kalangan masyarakat Yahudi
mempersembahkan doa dan mereka yakin bahwa Tuhan akan mendengar mereka di
tempat itu. Dekat dengan lokasi Tembok Ratapan tadi ada Gereja Makam Kristus
yang juga disebut sebagai makam suci.
Penulis
buku ini mencatat (dalam buku sebelumnya, Jerusalem: Kesucian, Konflik dan
Pengadilan Akhir, 2008) bahwa dalam 3.000 tahun usianya, Jerusalem mengalami
paling tidak 20 kali penaklukan dan pembangun kembali atas kota ini. Data dalam
Wikipedia menyebut kota ini pernah dihancurkan 2 kali, dikepung 23 kali,
diserang 52 kali, disandera dan dibebaskan sampai 44 kali. Berbagai enguasa
dunia silih berganti menguasai wilayah yang berpenduduk hampir 800.000 jiwa dan
kini menjadi ibu kota Israel ini. Hal terakhir ini pun bukan tanpa masalah dari
kacamata dunia internasional.
Dalam
buku keduanya ini, penulis tidak sekedar menggali lebih jauh dari sejarah kota
dan lingkup sosial politiknya. Ditampilkannya eksplorasi yang terkait dengan
bagaimana kejayaan Kerajaan Romawi pada masa lalu berkelindan dengan sejarah
perkembangan agama Yahudi dan Kristen serta tragedi kematian para nabi.
Konteks penyaliban
Angka
33 yang tercantum dalam judul adalah symbol untuk menyebutkan tentang kurun
waktu “manusia” Kristus yang pernah hadir dalam dunia, menyejarah lewat
karya-karyanya, dan sejumlah peninggalan arkeologis mendukung aneka rekaman
sejarah tersebut. Penulis buku dengan cermat menimbang aneka versi tentang umur
hidup Kristus. Namun, ia kemudian yakin bahwa 33 tahun adalah angka yang lebih
masuk akal(nya).
Buku
ini menampilkan pembacaan kembali atas peristiwa religius dengan
perspektif yang lebih luas, dengan alat
bantu teologi serta ilmu-ilmu sekuler lain, seperti sejarah, arkeologi,
geografi, terkadang botani, politik, dan sosiologi agama. Jika dilihat dari
kacamata iman, karya ini menjadi suatu elengkap atau pengisi pengetahuan
keimanan yang kerap tersisih ketika manusia yang beragama terjebak dengan aneka
peristiwa ritual.
Dalam
buku ini akan dipahami aneka konteks sejarah, sosial, dan politik di balik
kemunculan seorang biasa yang lalu dikenal sebagai Mesias. Kita juga diajak
untuk memahami konteks kematian atau penyaliban Kristus dalam konteks masa
lalu. Penulis mencoba menggambarkan, siapa yang sesungguhnya berkepentingan
atas kematian sang Mesias, lalu mengapa yang dilakukan adalah hukuman
penyaliban itu sendiri sebagai suatu bentuk hukuman? Mengapa jenis hukuman ini
yang diberikan kepada Kristus? Dimana pula letak saling keterpautan kepentingan
Kerajaan Romawi, kekuasaan pemuka agama Yahudi, dan para murid Kristus itu
sendiri? Tentu saja jawaban atas pertanyaan ini masih bisa terus diperdebatkan.
Politik cinta kasih
Lewat
penelusuran kekayaan bahan pustaka yang dimilikinya, penulis memberikan jawaban
berupa panduan penjelasan yang profane, tetapi sekaligus juga menyiratkan yang
religius. Muara dari sejumlah jawaban tadi-menurut saya-adalah bagaimana-napun
juga kehadiran Kristus di dunia adalah suatu peristiwa politik, dan
penyingkiran Kristus juga adalah peristiwa politik. Namun, ada fenomena politik
lain yang kemudian keluar sebagai pemenang: politik yang menawarkan cinta
kasih, politik yang menawarkan kedamaian, dan itulah yang membuat karisma yang
menyejarah ini menjadi tersebar keaneka penjuru dunia.
Sah
saja jika penulis buku ini, dalam melihat sejarah Jerusalem, mengambil
perspektif yang mungkin berbeda dengan Karen Armstrong (1996), yang penuh
simpatik menggambarkan sejarah tiga agama yang bermuara di Jerusalem ini.
Namun, sebagaimana yang dinyatakan Mudji Sutrisno dalam pengantar buku ini,
yang ditulis terhadap kota Jerusalem ini sudah melewati cara melihat (mata)
dari seorang wisatawan, peziarah, pengelana, dan wartawan. Seorang Komaruddin
Hidayat menilai buku ini penting untuk meenyadarkan bahwa “betapa agama telah
terseret begitu jauh dalam konflik berdarah-darah yang penggerak utamanya
adalah factor-faktor non-agama”.
Buku
ini menyegarkan dan sekaligus informative karena teks-teks panjang dipadu
dengan sejumlah ilustrasi, foto, dan grafis untuk melengkapi penjelasan. Beberapa
bagia sebenarnya mengundang keingintahuan lebih jauh, missalnya bagaimana seni
budaya pada masa lalu itu menggambarkan sosok Pontius Pilatus, Raja Herodes,
pun sosok Kristus itu sendiri walau yang kini dikenal universal dianggap bias
Barat karena digambarkan berambut pirang dengan hidung yang mancung. Kehadiran
sejumlah ilustrasi dari seni budaya masa lalu pasti juga akan semakin
memanjakan pembaca atas perjalanan intreprestasi sejarah kota Jerusalem ini.
Memang tidak mungkin kita melihat sejarah kota ini semata-mata dari pandangan
yang tunggal.
Sumber: Koran KOMPAS,
Minggu 17 April 2011.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar